Sumber gambar : pixabay.com |
“Banyak banget beli buku, memang sempat bacanya?”
“Udah beli buku lagi. Itu buku yang numpuk di rumah udah dibaca semua belum?”
Pernah dapat pertanyaan sejenis pas lagi borong buku?
Bagi para penikmat buku, berkunjung ke toko buku itu ngeri-ngeri sedap, bisa menjadi sengsara atau nikmat tergantung kondisi finansial. Manakala dompet sedang tebal, hasrat untuk membeli banyak buku pun tak terelakkan. Belum lagi kalau ada diskon atau bazar yang sering bikin kalap.
Sialnya, animo beli buku kerap tak berbanding lurus dengan gairah membaca, sehingga muncullah kebiasaan menumpuk buku yang istilahnya disebut tsundoku. Tsundoku sendiri diambil dari bahasa Jepang yang merupakan pemendekan dari kata “tsunde-oku” (menumpuk/menyimpan untuk nanti) dan “dokusho” (membaca buku). Tsundoku berarti menumpuk buku tanpa membacanya.
Penyebab
perilaku tsundoku ini macam-macam,
mulai dari sensasi kesenangan tersendiri yang didapat saat membeli dan menumpuk
buku, sampai ingin dianggap intelek dengan koleksi buku yang bejibun. Namun,
alasan yang paling umum di kalangan penggemar buku adalah punya kesempatan
untuk beli buku, tapi belum ada niat waktu untuk membacanya.
Secara umum, perilaku tsundoku ini dianggap sebagai kebiasaan buruk atau “penyakit” yang menjangkiti para penggemar buku, tak terkecuali diri saya sendiri. Untuk apa beli buku baru kalau buku di rumah saja banyak yang belum terbaca? Mubadzir, mungkin itu yang sebagian orang pikirkan.
Saya tentu sepakat bahwa buku dibeli, ya untuk dibaca, bukan untuk ditumpuk begitu saja tanpa dibaca bagai kekasih yang tak dianggap. Dengan alasan yang sama, pembaca buku perlu menyusun siasat demi menghindari perilaku beli-aja-dulu-bacanya-gimana-nanti. Walau demikian, menurut saya, tsundoku tidaklah seburuk itu, karena munculnya perilaku tsundoku dapat dilatarbelakangi oleh alasan-alasan tertentu.
Pertama, mumpung lagi ada uang. Bagi para pecintanya, buku seolah sudah menjadi kebutuhan primer. Biarlah baju celana sudah butut, banyak dari mereka yang lebih rela menyisihkan bujet untuk berburu buku daripada beli pakaian baru. Adakalanya keinginan untuk mengadopsi bahan bacaan berebutan dengan kebutuhan sehari-hari dan kepentingan mendesak lainnya. Makanya, sayang rasanya melewatkan kesempatan memborong buku ketika keuangan sedang leluasa.
Kedua, menumpuk buku sama dengan investasi yang keuntungannya bisa dipetik kapan saja. Di antara kalian mungkin ada yang sudah merasakan ‘manfaat’ tsundoku di masa pandemi seperti sekarang. Tumpukan buku yang belum terbaca itu bisa menyelamatkan kalian dari rasa bosan di rumah, sekaligus menghemat isi dompet di masa-masa krisis, karena banyak bahan bacaan yang sudah tersedia di rumah.
Ketiga, buku-buku yang ada di rak kalian sekarang adalah sejarah di masa mendatang. Buku yang tercetak dan masih ada di toko hari ini, kelak akan menjadi barang langka. Akan ada masanya dimana buku tersebut tak lagi dicetak ulang dan sulit ditemukan, bahkan menghilang dari pasaran. Apalagi jika sang penulis telah tiada.
Kalau sudah begitu, tulisan yang tersisa dari sang penulis di dunia ini ada dalam buku karangannya yang terpajang di rak kalian. Buku yang sama belum tentu ada di rak orang lain. Bikin bangga nggak sih? Terlepas dari buku itu dibaca sekarang atau nanti, dengan memilikinya, kalian menjadi salah satu orang yang berpeluang untuk membacanya, sekaligus diberi kesempatan untuk memelihara salah satu karya tulis sebagai jejak peradaban.
Kelihatan ngeles, tapi bener ‘kan? Hehe.
Keempat, manfaat buku tidak terbatas pada orang yang membelinya, tapi bisa untuk siapa saja yang membutuhkannya. Jika kalian ingin beramal, tapi bingung harus berbuat apa, kalian bisa menengok dan memilah koleksi buku kalian untuk disumbangkan ke perpustakaan atau badan-badan amal. Barangkali juga ada teman kita yang sedang menyusun skripsi dan kebetulan kita memiliki buku yang diperlukan sebagai bahan referensi.
Tentunya, sebisa mungkin kita juga harus membaca buku yang sudah kita beli. Suatu kerugian jika kita mampu membeli buku, tapi malah orang lain yang membacanya, sedangkan kita sendiri tidak tahu isinya. Seandainya pun buku itu sudah ada di tangan kita, tapi gairah untuk membaca tak jua hadir, akan lebih bermanfaat ketika buku itu diberikan kepada orang lain daripada dibiarkan menumpuk di lemari.
Walau nggak dosa, kebiasaan tsundoku jelas perlu dikendalikan. Tidak ada kebaikan dalam berlebih-lebihan, apalagi kalau jatuhnya jadi terjebak pada perilaku konsumtif yang akhirnya bikin dompet bolong atau malah jadi banyak utang. Ingat! Perilaku tsundoku muncul bukan semata-mata karena niat, tetapi juga karena kesempatan walau tadinya nggak niat. Waspadalah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar